Friday, September 29, 2006

Poppy Dharsono

Dalam dunia fashion Indonesia, Poppy Dharsono adalah sosok besar. Setelah 25 tahun berkarya di dunia mode, saat ini industri mode yang dikelolanya cukup sukses dan kuat. Tapi ternyata, jadi fashion designer atau perancang mode dulu bukan impiannya, lho!

Awalnya, Poppy cilik bercita-cita menjadi seorang dokter. Saat itu yang terbayang, menjadi dokter sungguh luar biasa biasa karena apa yang dikatakan oleh dokter pasti dipatuhi semua pasiennya!

Setelah lulus SMP, Poppy yang lahir di Garut 8 Juli 1951 ini telah mahir membuat pola dan menjahit baju. Kemampuan ini diperkenalkan ibunya yang kebetulan seorang guru di sebuah sekolah menjahit di Jakarta. Tapi kemampuan ini belum mendorong Poppy untuk kelak terjun ke dunia mode. Malah pikirnya, menjadi fashion designer bukanlah sebuah profesi melainkan hanya pekerjaan sambilan seorang ibu rumah tangga.

Ketika lulus SMA, Poppy memutuskan untuk masuk ke Akademi Sinematografi di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, sekarang IKJ—red). Alasannya masuk ke lembaga pendidikan ini ternyata sederhana saja.
“Saya takut yang dimapram-dimapram (OSPEK--red) itu. Waktu itu (mapram-red) di IKJ enak dan ringan sekali,” kenangnya geli. Pada masa itu, mapram memang sedang “gencar” dilakukan, bahkan sudah dilakukan di SMA (kini SMU-red).

Menjadi mahasiswi di IKJ membuatnya jadi percaya diri. Sebagian besar staf pengajarnya yang sempat mencicipi dunia pendidikan di luar negeri berhasil menanamkan sistem yang dianggapnya bagus. Diantaranya adalah Umar Kayam, Asrul Sani dan Syumanjaya (alm).
“Mereka memungkinkan kita untuk memiliki imajinasi yang luar biasa,” jelas penggemar warna-warna tanah ini. Ia pun menekuni dunia sinematografi.

Pada 1973, ia memutuskan pergi ke Paris untuk memperdalam pengetahuan sinematografi. Di sana ia berkenalan dengan Ratna Cartier Brensson (yang masih kerabat keluarganya), seorang Indonesia yang menikah dengan fotografer terkenal Henry Cartier Brensson.

“Tante Ratna ini melihat saya punya selera mode yang bagus,” kenang Poppy. Atas saran Ratna C Bresson itulah Poppy kemudian masuk ke sekolah mode ESMOD. Keputusannya untuk “banting setir” ke dunia mode nggak percuma .

Tiga tahun belajar belajar di ESMOD membuat Poppy cukup enjoy dengan dunia yang digelutinya itu. Ia pun jatuh cinta pada dunia mode.

“Paris ternyata memberikan motivasi yang kuat terhadap mode yang nggak pernah saya lihat sebelumnya di Indonesia. Saya melihat sendiri mode itu sebuah industri yang penting sekali bagi sebuah negara. Karena memang setelah makan kan orang butuh sandang,” tuturnya.

Apa yang didapatkannya di Paris itu akhirnya membuatnya mantap di dunia mode. Kesempatan untuk berkarya lebih luas datang mengalir. Peragaan busana pertamanya adalah di Kota Essen dan Dusseldorf, Jerman. Dengan mengangkat batik dan lurik sebagai tema rancangannya, karyanya mengundang kekaguman para hadirin yang melihat peragaan itu.

Perhatiannya terhadap batik tak berhenti hingga kini. Ia menggabungkan batik sebagai kekayaan Indonesia dengan trend fashion dunia. Hasilnya adalah karya-karyanya yang mengagumkan, yang juga membawa nama bangsa dalam mode dunia.
Salah satu kunci kesuksesannya adalah melakukan fokus pada apa saja yang dilakukan. Ia memilih tetap berkarya dan bergerak dalam bidang mode di Indonesia. Salah satu yang telah dilakukan untuk menghidupkan dunia dan industri mode di Indonesia adalah mendirikan APPMI (Asosiasi Pengusaha & Perancang Mode Indonesia) dan juga sebuah sekolah mode bertaraf international di Jakarta. Ia ingin banyak Poppy – Poppy lain yang muncul mengikuti suksesnya.**surien**

Dimuat di for GIRLS terbitan Diseny, Gramedia Majalah

No comments: