Tuesday, October 03, 2006

Yang Unik dari Timbuktu


Lelaki bercadar

Di bagian tertentu di dunia, kita mengenal daerah yang kaum perempuannya memakai cadar penutup wajah. Namun pada suku Tuareg yang merupakan penduduk asli Timbuktu, cadar justru dipakai kaum laki-lakinya untuk menutupi wajah mereka. Para lelaki ini akan mulai memakai cadar penutup muka dan surban pada usia sekitar dua puluh tahun.

Memakai cadar adalah tanda bahwa kaum lelaki dari suku Tuareg telah siap menjadi pemimpin rombongan dan cukup matang untung menikah. Cadar tersebut dipakai untuk menutupi mulut mereka sebagai simbol kesopanan dan ketaatan mereka terhadap nilai-nilai tradisional yang masih kental. Sedangkan sorban yang mereka pakai dipercaya mampu melindungi pemakainya dari gangguan roh jahat atau jin. Dan tahu nggak, sorban yang mereka lilitkan di kepala itu panjangnya bisa mencapai 5 meter lebih, lho…

Suku ini juga dikenal sebagai “manusia biru dari gurun pasir” karena pakaian dan surban mereka kebanyakan berwarna indigo alias biru….Jauh dari Laut, tapi Kaya GaramLetak Timbuktu yang dikelilingi gurun pasir itu memang agak jauh dari laut. Tapi Timbuktu justru terkenal sebagai tempat yang berkembang pesat karena perdangangan garam.

Tambang garam yang terkenal di Timbuktu adalah Taoudenni. Kok, bisa, sih, jauh dari laut tapi kaya akan garam? Sst, garam di Timbuktu bukan berasal dari lautan, lho. Garam itu berasal dari danau tua yang mongering jutaan tahun lampau. Namun teknik penambangannya belum begitu memperhatikan keselamatan. Kandungan garam bisa ditemukan sekitar satu meter dari bawah permukaan tanah.

Sayangnya, garam hanya bisa dijangkau melalui sistem parit dan terowongan yang digali sedalam 6 sampai 200 m. Lempengan garam dipakai sebagai penyangganya. Garam yang diya digali berbentuk balok-balok besar dan nantinya akan dipecah menjadi potongan kecil. Tapi biarpun sudah dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil, ukuran garam itu tetap saja termasuk besar.

Untuk mengangkut hasil galian garam tersebut, para penambang garam kadang ada yang harus menggunakan unta sebanyak 30 hingga 300 ekor. Setiap unta bisa mengangkut empat hingga enam balok garam yang masing –masing beratnya mencapai 45 kg. Wuih, seperti karnaval saja, ya…

Minum Air Seni Demi Mencapai Timbuktu

Timbuktu yang pada abad ke-14 dikenal sebagai Elderado-nya Afrika atau sebagai kota penghasil emas, memang mengundang banyak penjelajah untuk mencari keberuntungan di sana. Medan gurun yang panas dan berat tidak membuat para penjelajah mengurungkan niat mereka ke Timbuktu.

Pada tahun 1700-an dan awal 1800-an, banyak penjelajah yang berusaha mencapai Timbuktu namun tak satu pun yang bisa kembali dengan selamat. Sebab, medan di gurun tersebut sangatlah berat dan sangatlah sulit untuk mendapatkan air. Daripada menghadapi ajal, mereka memilih untuk menghimpun kekuatan tubuh dengan sering kali terpaksa meminum air seni unta, air seni mereka sendiri, atau bahkan darah sebagai upaya bertahan di padang Sahara yang tandus! Hiiii….

Kota yang Dibangun dengan Lumpur

Kota Timbuktu antara lain dikenal dengan keunikan rumah-rumah penduduknya yang dibangun dari lumpur dan batu granit. Rumah-rumah penduduk itu terbangun mengelilingi kota. Barulah di tengah kota, dibangun sentral perdagangan.Selain rumah penduduk yang unik tersebut, ada juga bangunan tersohor yang juga terbuat dari lumpur dan batu granit, yaitu mesjid Djingereber.

Mesjid ini diperkirakan merupakan bangunan terkuno dan terbesar di dunia yang terbuat dari bahan dasar Lumpur. Mesjid Djingereber dibangun dengan lumpur dan campuran bahan-bahan organik seperti serabut, jerami, dan kayu. Mesjid yang diduga dibangun abad ke-13 ini memiliki arsitektur yang unik. Konon, bentuk mesjid inilah yang menjadi ide dibangunnya rumah-rumah penduduk yang terbuat dari lumpur.

Selain mesjid Djingereber, Timbuktu juga memiliki dua mesjid lainnya yang termasuk mesjid terbesar di Afrika Barat dan…terbuat dari lumpur juga.

Penjelajah Timbuktu, Tewas tanpa Hasil

Adalah Alexander Gordon Laing, penjelajah asal Skotlandia yang berhasil mencapai Timbuktu setelah melakukan perjalanan hampir satu tahun satu bulan pada tahun 1826. Dalam perjalanannya menuju Timbuktu, tangannya terluka akibat serangan pedang dari suku Tuareg. Setelah sembuh dari lukanya, Laing tetap berusaha mencapai Timbuktu. Tapi sesampai di Timbuktu, dia sangat kecewa karena yang dilihatnya di sana tidaklah sehebat yang dia dengar. Laing hanya bertahan sebulan di sana lalu mencoba pulang. Namun sayangnya, baru dua hari dalam perjalanan pulang, dia terbunuh oleh suku pengembara.

Selain Laing, masih banyak penjelajah lain yang mencoba peruntungan di Timbuktu. Namun banyaknya penjelajah yang berambisi memperoleh emas di Timbuktu justru mengundang banyak pertempuran antara mereka dengan suku setempat, juga antara para penjelajah itu sendiri. Tempat itu akhirnya hancur karena kekerasan yang sering terjadi. Dan akhirnya emas cuma menjadi legenda. Memang, kalau kita serakah, akhirnya justru tak mendapat apa-apa…**surienDimuat di DOnal edisi Khusus TImbuktu, 2004

Foto .www.loftyshelters.com

No comments: