Friday, September 29, 2006

Hans Chistian Andersen, Bapak Dongeng Dunia


Kalau kita pernah membaca dongeng “Itik Buruk Rupa” yang sudah melegenda, kita tentu juga kenal pengarangnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Hans Christian Andersen. Nah, tahun 2005 ini adalah genap 200 tahun peringatan lahirnya pengarang legendaris yang mendapat julukan “Bapak Dongeng Dunia” itu. Mungkin hingga ratusan tahun mendatang, namanya masih akan tetap melegenda. Sebab, hingga kini dongeng-dongeng indah ciptaannya itu masih menjadi sahabat setia anak-anak menjelang tidur. Namun, siapa yang sangka, hidupnya ternyata tak seindah dongeng ciptaannya.

Anak keluarga miskin

Salah satu keunggulan dongeng karya Hans Christian Andersen adalah ceritanya yang kaya akan imajinasi. Maklum, kehidupan Andersen sendiri memang penuh warna-warni kehidupan yang tak disangka.

Andersen lahir di Odense, Denmark, pada 2 April 1805. Ayahnya adalah seorang pembuat sepatu dan ibunya adalah tukang cuci pakaian pada keluarga kaya sebelum menikah dengan ayah Andersen.

Sebagai anak dari keluarga miskin, Andersen akrab dengan kesusahan. Apalagi setelah ayahnya meninggal, saat Andersen baru berusia sebelas tahun, ibunya meminta Andersen bekerja ke tukang jahit dan pabrik tembakau untuk membantu perekonomian keluarganya. Andersen merasa tidak bahagia dengan pekerjaannya itu. Di sekolah, dia pun lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun, berimajinasi tentang berbagai hal. Nah, ketika usianya menginjak empat belas tahun, Andersen meninggalkan rumah menuju ke kota Copenhagen.

Menjadi penulis

Di Copenhagen, Andersen mencoba peruntungan dengan menjadi seniman, aktor, penari, dan penyanyi. Di sana, dia lalu bersahabat dengan Chancellor Jonas, sutradara Teater Royal, yang mengetahui bakat Andersen dalam menulis. Kepada Collin, yang menjadi “bos” Andersen saat bekerja sebagai seniman di sana, Andersen mengungkapkan keinginannya untuk bisa menjadi penulis. Collin pun lalu menolongnya dengan mengupayakan bea siswa dari raja agar bisa kembali bersekolah dan mengasah kemampuan menulisnya.

Usaha itu tak sia-sia. Di usia 23 tahun, Andersen berhasil masuk universitas di Copenhagen. Setahun kemudian, karyanya juga mulai diterbitkan di Denmark. Atas biaya dari raja, Andersen pun berkesempatan melakukan perjalanan ke Jerman, Prancis, Swiss, dan Italia. Dari pengalaman perjalanannya itulah Andersen menulis berbagai skenario, novel, puisi, dan buku perjalanan. Juga menulis sebuah buku autobigrafi berjudul “The Fairy Tale of My Life”, yang diterbitkan pertama kali pada 1855.

Kisah-kisah dongeng anak-anak karyanya telah lebih dulu diterbitkan, yaitu pada tahun 1835 (“Fairy Tales for Children”) dan meledak di pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu tentu mengejutkan Andersen, yang sama sekali tak menyangka bahwa dongeng-dongengnya begitu digemari pembaca segala usia di berbagai belahan dunia.

Hidup kesepian bak itik buruk rupa

Karya Andersen memang berhasil menjadi legenda dunia. Tapi siapa sangka, jika Andersen sepanjang hidupnya justru merasa dirinya adalah sosok yang buruk rupa. Andersen memiliki tubuh yang tinggi dan kurus dengan hidung yang panjang. Perasaan memiliki fisik yang tak menarik itulah yang kemudian memberikan Andersen inspirasi untuk menulis dongeng berjudul “The Ugly Duckling” (“Si Itik Bruk Rupa”) . Dongeng ini berkisah tentang seekor itik buruk rupa yang menetas bersama telur-telur ayam, sehingga dia menjadi yang paling berbeda dari anak-anak yang lainnya, lalu dikucilkan.

Andersen tak pernah berhasil menyunting seorang perempuan untuk menjadi istrinya. Semua perempuan yang dilamarnya selalu menolak Andersen. Di tengah kesepiannya itulah Andersen mencurahkan segenap perasaan dan imajinasinya ke dalam berbagai bentuk kisah yang menganggumkan.

Andersen wafat pada 4 Agustus 1875. Ia menciptakan tak kurang dari 156 buah cerita dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan diterbitkan di berbagai negara.
Hingga kini, di berbagai belahan dunia, setiap malam dongeng-dongeng karyanya diceritakan oleh para orang tua pada anak-anaknya sebagai pengantar tidur. Dongeng-dongeng itu membuat rasa takut dan kesepian yang menyergap anak-anak menjadi hilang. Itulah warisan dari Hans Christian Andersen. Dunia tak lagi terasa sepi berkat dongeng-dongengnya.**Surien
Dimuat di Gober NOstalgia, Gramedia Majalah

1 comment:

88th said...

enaknya bisa dongeng. kalo jaman skarang mah udah punah kisah2 imajinatip kayak gituan. orang lagu nina bobo bocah jaman skarang aja pakek lagu piterpen/st12.

edan.