Tuesday, September 26, 2006
Kahlil Gibran, Sang Pujangga Cinta
"...pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... Dan, pabila sayapnya merangkummu... pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu..." Itulah penggalan syair cinta karya sastrawan besar ini. Lewat tulisan-tulisannya, mengalir untaian kata-kata menawan tentang cinta dan kehidupan.
Hijrah ke Amerika Sejak Kecil Gibran, demikian nama sang pujangga besar ini saat dilahirkan di Beshari, Lebanon, pada 6 Januari 1883, dari rahim ibu bernama Kamilah. Nama Gibran lalu dilengkapi menjadi Gibran Kahlil Gibran, yang diambil dari nama ayahnya, Kahlil Gibran. Kahlil Gibran sendiri merupakan suami kedua Kamilah. Gibran memiliki seorang kakak tiri, bernama Butros, dan dua adik kandung yang perempuan bernama Sultanah dan Miriana. Sejak usia 10 tahun Gibran cilik pindah ke Amerika, tepatnya di Cinatown, Boston, bersama ibu dan ketiga saudaranya. Sedangkan ayahnya tetap tinggal di Lebanon.
Di Boston, Gibran bertemu dengan sejumlah seniman Bohemian yang sedikit banyak memperkenalkan wawasan seni padanya. Gibran secara serius belajar di sekolah al-Hikmah. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar berbagai ilmu. Diantaranya, kesusastraan Arab kuno dan modern. Gibran lalu pergi ke Prancis pada tahun 1902. Di Prancis ini Gibran antara lain menjadi pemandu dan penerjemah bagi sebuah keluarga asal Amerika yang ada di sana. Gibran juga sempat mempelajari seni rupa pada sejumlah seniman Prancis. Sayangnya, baru setahun di sana, ia harus kembali ke Boston karena mendengar Sultanah meninggal dunia dan ibunya juga sakit keras. Sesampainya di Boston, ternyata tak beberapa lama Boutros meninggal dunia dan disusul ibunya beberapa bulan kemudian. Semua saudara dan ibunya itu meninggal karena penyakit TBC.
Atas simpati Mary Haskel, pemilik Cambridge School, yang menjadi salah satu teman dekat, sekaligus pelindung, dan sponsor Gibran pada masa itu, Gibran berkesempatan pergi ke London untuk mempertajam kemampuannya sebagai pemikir dan seniman besar. Di sana dia belajar di Academie Julien dan Ecoles des beaux Arts, dan melahap berbagai karya sastra penulis Prancis dan Inggri kontemporer. Di antaranya karya William Blake.
Karya Blake itulah yang lalu banyak mempengaruhi pikiran dan seni karya Gibran. Setelah dari London, Gibran melanjutkan studinya ke Prancis. Gibran yang juga sempat mempelajari seni lukis, bertemu kembali dengan mantan teman sekolahnya di Al-Hikmah, yakni Yusuf al-Huwayik yang juga mahasiswa seni. Mereka lalu bersahabat dan ternyata memiliki aliran seni lukis yang sama, yakni setia pada tradisi klasik. Gibran lalu sempat mengadakan sejumlah pameran lukisan di Amerika.
Tahun 1912 Gibran pindah ke kota New York. Di kota inilah Gibran lalu menetap hingga akhir hayatnya. Terkenal sebagai Pujangga Cinta Dalam perjalanan karya sastranya, Gibran terkenal sebagai pujangga cinta. Banyak karyanya itu berasal dari kenyataan di sekitarnya, bahkan kisah hidupnya sendiri. Misalnya saja, ia menulis kisah cinta pertamanya yang tak berjalan mulus melalui “Sayap-Sayap Patah” (“The Broken Wings” ) sekitar tahun 1903. Sejumlah prosa dan puisi pendek lainnya juga banyak yang bertema cinta.
Namun selain cinta, Gibran juga banyak menuliskan karya sastra yang berkisah tentang berbagai perjuangan hidup. Sebagai kaum minoritas di negara yang besar saat itu, Gibran memang akrab melihat berbagai penindasan dan ketidakadilan pada kaum minoritas. Keprihatinannya itu lalu dituangkan dalam sejumlah karyanya.
Meski kisahnya miris atau berupa kecaman atas penindasan, tapi untaian bahasanya tetaplah karya sastra yang indah. Buku pertamanya yang diterbitkan dalam bahasa Arab pada tahun 1905 berjudul “Musik” (“al-Musikah” ). Sedangkan buku keduanya berjudul “Bidadari Lembah” (Nymph of the Valley”), yang merupakan kritikan tajam dirinya pada negara dan gereja saat itu. Dan dua minggu sebelum Gibran meninggal, ia sempat menerbitkan “The Earth Gods”.
Gibran menghembuskan napas terakhirnya pada 10 April 1931 di rumah sakit Vincent, New York. Ia meninggal karena penyakit yang sama seperti penyakit yang merenggut nyawa ibu dan saudara-saudaranya, yakni TBC paru. Ribuan orang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir untuknya di bangsal pemakaman. Misa penghormatan jenazahnya dilakukan di Gereja Lady of Cedarz, Boston. Jenazahnya lalu dimasukkan dalam peti besi dan dibawa ke Lebanon melalui jalur darat dan tiba di Beirut pada 21 Agustus 1931. Gibran dimakamkan di Biara Mas Sarkis, Bisharri.
Untuk mengenang karya dan jasanya terhadap seni dunia, tak jauh dari makamnya itu pemerintah Lebanon membangun museum Kahlil Gibran. Hingga kini karya sastranya telah diterjemahkan dalam dua puluh bahasa. Kata-kata indah memang abadi dikenang. Seperti halnya karya Kahlil Gibran, yang akhirnya menjadi legenda bagi pemuja cinta. **Surien
dimuat di Gober nostalgia, Gramedia majalah
foto : www.geocities.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment